Selasa, 03 November 2009

KEBENARAN

KEBENARAN TIDAK HARUS SATU.

Oleh: A. Adib Masruhan

Penyakit orang orang “muda” yang baru menapakkan kakinya beberapa langkah di dunia ilmu keislaman adalah mereka tidak mengetahui kecuali satu pendapat dan satu sudut pandang, atau hafal dua atau tiga hadits yang mereka dapatkan dari seorang guru atau ustadz. Mereka membatasi diri dalam satu kelompok dan tidak bersedia mendengar pendapat lainya atau mendiskusikan pendapat pendapat lain yang berbeda denganya. Yang anehnya mereka ini melarang taqlid, padahal sebenarnya mereka sendiri bertaqlid, mereka menolak tidak mau mengikuti para imam madzhab namun kenyataanya mereka bertaqlid dan mengikuti ustadznya atau guirunya yang masa kini.

Bahkan mereka menolak madzhab, padahal meeka sendiri menjadikan pendapatnya atau pendapat guru/ustadznya sebagai madzhab yang lain dengan membelanya mati matian dan menolak setiap orang yang berbeda dengannya.

Sesungguhnya sikapmereka terhadap kebenaran tak ubahnya seperti sikap orang buta terhadap gajah dalam cerita yang berkembang dimasyarakat. Mereka tidak mengenal gajah kecuali hanya terhadap apa yang sedang disentuh tanganya, sehingga apabila menemukan gajah hanya pada kakinya maka dia akan mengatakan bahwa gajah itu mirip bambu, bentuknya bulat memanjang, namun keesokan harinya akan berubah pendapatnya, karena dia menemukan dan menyentuh gajah pada telinganya, sehingga pendapoatnya tentang gajahpun berubah, bahwa gajah itu seperti ilir (kipas angin tradisional) begitu seterusnya.

Seandainya mereka mau memperluas wawasan serta keilmuan mereka, niscaya merekaakan mengetahui dan menyadari bahwa persoalan yang dihadapi ternyata lebih luas dari sekadar satu pendapat yang telah diterima dari ustadznya dan menyadari bahwa keaneka ragaman pendapat itu dapat ditolerir. Namun yang penting adalah bersikap adil dan tasamuh atau toleransi, meninggalkan fanatisme dan mau mendengarkan orang lain, sekalipun mungkin mereka lebih benar pendapatnya.

Sehingga mengetahui (kenyataannya) bahwa kebenaran dalam Islam yang terkait dengan furu’iyah itu tidak hanya satu, bisa jadi dua pendapat yang berbeda itu benar semua, mungkin juga tiga pendapat itupun benar semua. Hal ini sudah ditunjukkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW cara menyikapi apabila ada perbedaan pendapat. Seperti beberapa contoh peristiwa berikut ini:

عن بن عمر قال قال النبي صلى الله عليه وسلم لنا لما رجع من الأحزاب: لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة فأدرك بعضهم العصر في الطريق فقال بعضهم: لا نصلي حتى نأتيها وقال بعضهم: بل نصلي لم يرد منا ذلك فذكر للنبي صلى الله عليه وسلم فلم يعنف واحدا منهم

صحيح البخاري ج: 1 ص: 321

“Dari Ibnu Umar berkata, bersabda Nabi SAW kepada kami ketika sekembalinya dari perang Al Ahzab (Khondaq) : Jangan sekali sekali kalian sholat Ashar kecuali (telah sampai) di Bani Quraidloh, sebagian mereka memasuki waktu Ashar di perjalanan, mereka berkata: Kita tidak akan sholat Ashar kecuali telah sampai di Bani Quraidloh, sebagian lagi berkata: Kita sholat sekarang, beliau tidak bermaksud seperti itu. Hal itu disampaikan kepada Nabi SAW besoknya, maka beliau tidak menyalahkan salah satu dari mereka. (HR Bukhori 1:321)

Kejadian tersebut diatas menunjukan bahwa kebenaran tidak harus satu, dikala orang berijtihad dan menghasilkan suatu fatwa hukum maka ada kemungkinan benar walau berbeda dengan yang lain, seperti contoh diatas bahwa Nabi SAW mengatakan: jangan sekali sekali sholat ashar kecuali telah sampai di perkampungan Bani Quraidloh, yang berjarak sekitar 6 km dari masjid Nabawi (tempat dikeluarkan perintah), mereka kemudian berangkat dengan membawa peralatan perang sehingga memakan waktu lama untuk mencapai tujuan tempat musuh (Bani Quraidloh), waktu ashar telah mendekati habis, mereka berselisih, apakah sholat ashar dahulu apa melanjutkan pejalanan dan sampai tujuan setelah waktu ashar terlewatkan. Sebagian sholat ashar ditempat (perjalanan) pada waktunya (ashar), dan sebagian sholat ashar di tujuan (Bani Quraidloh) diwaktu maghrib. Dua hasil ijtihad tersebut dilaporkan kepada Nabi SAW di keesokan hainya dan beliaupun tidak menyalahkan dari dua hasil ijtihad tersebut, kedua duanya adalah benar. Yang satu menggunakan ijtihad dengan rasional (kontekstual) perintah dan nash, dan yang satunya menggunakan tekstual (dlohir nash).

عن ابن المسيب أن أبا بكر وعمر تذاكراالوتر عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال أبو بكر: أما أنا فأنام على وتر فإن استيقظت صليت شفعا، وقال عمر: لكني أنام على شفع ثم أوتر من السحر، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأبي بكر حذر هذا، وقال لعمر قوي هذا

مصنف عبد الرزاق ج: 3 ص: 14

“Dari said Ibn Musayyib, bahwa Abu Bakar dan Umar bercerita tentang pelaksanaan sholat witirnya dihadapan Nabi SAW, Abu Bakar berkata: Saya melakukan sholat witir kemudian tidur, dan bila bangun aku sholat genap, Umar berkata: kalau saya tidur setelah melakukan sholat secara genap, kemudian sholat witir diwaktu sahur (menjelang subuh). Rasulullah SAW berkata untuk Abu Bakar: yang ini hati hati, dan kepada Umar yang ini kuat” (HR Abdurrozaq 3:14)

Dalam hadits ini jelas ada dua pendapat yang dilontarkan dihadapan Rasulullah SAW dengan berbeda, Abu Bakar melakukan sholat sunnah sampai witir juga diawal malam, dan bila bangun ditengah malam maka beliau melakukan sholat sunnah kembali dengan dua okaat dua rokaat. Berbeda dengan Umar Ibn Khotob yang melakukan sholat sunah diawal malam dengan du rokaat kemudian tidur, dan melakukan sholat witirnya diwaktu sahur. Jelasnya dua pendapat ini berbeda; yaitu Abu Bakar melakukan sholat witir sebelum tidur dan Uamar melkukanya setelah tidur, kedua pendapat dan cara melaksanakan sholat malam ini mendapat pujian dari Rasulullah SAW. Padahal dalam kesempatan lain beliau menyatakan untuk sholat malam agar ditutup dengan rokaat ganjil (witir).

عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص أن عمرو بن العاص كان على سرية وأنهم أصابهم برد شديد لم ير مثله، فخرج لصلاة الصبح فقال: والله لقد احتلمت البارحة ولكني والله ما رأيت بردا مثل هذا، أهل مر على وجوهكم مثله؟ قالوا: لا، فغسل مغابنة وتوضأ الدفع للصلاة ثم صلى بهم، فلما قدم على رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم: كيف وجدتم عمرا وصحابته لكم؟ فأثنوا عليه خيرا، وقالوا يا رسول الله صلى بنا وهو جنب، فأرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عمرو فسأله فأخبره بذلك وبالذي لقي من البرد، فقال يا رسول الله، إن الله قال: (ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما) ولو اغتسلت مت، فضحك رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عمرو هذا

المستدرك على الصحيحين ج: 1 ص: 285

“Dari Abi Qais mantan budak Amr Ibn As bercerita: bahwasanya Amr Ibn As ketika mimpin perang (Dzatu Salasil), cuaca sangat dingin sekali, yang tidak pernah terjadi sebelumnya, maka dia pun keluar untuk mengimami sholat subuh sambil berkata: Demi Allah, semalam saya mimpi basah (mimpi keluar sperma), tetapi cuaca sangat dingin sekali tidak seperti biasa, apakah kalian merasa seperti itu? Mereka menjawab: tidak. Maka Amr Ibn As mandi secara tayammum kemudian wudlu untuk sholat dan kemudian mengimami mereka. Sewaktu kembali dan melapor kepada Rasulullah SAW beliau bertanya kapada pasukan: Bagaimana kepemimpinan dan perlakuan Amr terhadap kalian ? mereka memujinya dengan baik, namun mereka berkata: Ya Rasulullah, Amr mengimami sholat dalam keadaan junub. Rasulullah SAW mengirim utusan untuk memanggil Amr kemudian ditanyakan tentang hal itu. Amr bercerita tentang cuaca dingin dan berkata: Ya Rasulullah, bahwa Allah berfirman : (Jangan Kalian Bunuh jiwa kalian bahwasanya Allah Maha Penyayang) seandainya aku mandi niscaya aku mati. Rasulullah SAW tertawa kepada Amr. (HR Al Hakim 1:285)

Disini ada perbedaan pendapat antara Amr dengan para sahabat Rasulullah, mereka menggerundel, atas apa yang dilakukan oleh Amr dalam pelaksanaan sholat, mereka tetap mengikuti pemimpin nya untuk menjaga kesatuan dan persatuan, dengan catatan nanti mereka akan melaporkan kepada Rasulullah SAW.

.

Begitu pula, kita lihat perbedaan pendapat para sahabat terhadap tawanan perang Badr, dan yang paling menonjol adalah perbedaan antara sahabat Abu Bkar as Shiddiq ibn Abi Quhafah dengan Umar ibn al Khatthab.

Umar berpendapat bahwa tawanan perang Badr itu harus dihabisi semua, karena dalam pertimbangan beliau, kalau mereka dilepas pasti akan balas dendam dan mereka lebih kuat, namun pendapat Abu Bakar berbeda jauh, dengan sifat kelembutan dan kasih sayangnya beliau berpendapat agar mereka diperkenankan untuk menebus diri merka dan dana yang terkumpul dari hasil tebusan tersebut bisa dipergunakan untuk membangun fasilitas dan infra struktur Negara.

Banyak permasalahan dengan jawaban dari hasil para Ulama berbeda, bahkan bertentangan, namun pendapat tersebut sumbernya sama, yaitu hadits Rasulullah SAW.

Sebagai contoh; apabila seseorang dengan sengaja meninggalkan solat fardlu tanpa Udzur Syar’I, apakah dia mengqodlonya atau tidak? Jawaban para ulama berbeda; sebagian mengatakan harus mengqodlo, dan sebagian lainya mengatakan tidak perlu. Padahal mereka berpijak pada satu dasar dan argument yang sama, namun cara pandang dan system yang mereka gunakan beda, mereka menggunakan dasar hadits Rasulullah yang berbunyi:

عن أنس بن مالك: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من نسي صلاة فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك وأقم الصلاة لذكري

صحيح مسلم ج: 1 ص: 477

“Dari Anas Ibn Malik: bahwasanya Rasulullah SAW berkata: Siapa yang meninggalkan sholat karena lupa, maka dia harus melakukanya ketika ingat, tidak ada denda baginya, lakukan sholat untuk mengingat Aku (Allah)” (HR Muslim 1:477)

Hadits diatas digunakan sebagai jawaban pertanyaan, yang satu menyatakan tidak qodlo, dengan alasan hadits itu memerintahkan qodlo bagi yang meninggalkan karena lupa, tapi bila dengan sengaja meninggalkan sholat maka tidak menqodlonya. Jawaban yang kedua harus mengqodlonya, dengan alasan bahwa yang lupa meninggalkan sholat saja harus mengqodlonya apalagi yang dengan sengaja meninggalkan sholat lebih lebih harus mengqodlonya.

Wallahu A’lam bish showab.

Jumat, 18 September 2009

BEDA PENDAPAT

BEDA PENDAPAT, RAHMAT ATAU LAKNAT?
Oleh: A. Adib Masruhan

Perbedaan pendapat dikalangan para Ulama adalah wajar, karena mereka melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang berbeda, baik permasalahan tersebut dalam hal terkait pada mas’alah ilmiah maupun mas’alah amaliah. Permasalahan ilmiah bisa kita contohkan seperti cabang cabang syariat dan beberapa mas’alah aqidah yang tidak menyentuh pada prinsip prinsip yang pasti, sedang mas’alah amaliah bisa kita sebutkan beberapa contoh seperti perbedaan terhadap diperbolehkanya atau tidak presiden perempuan, perlunya pemberlakuan syariat Islam secara tekstual (dengan undang undang yang bertajuk Syariat Islam) atau cukup norma dan esensinya yang berlaku untuk kondisi negara seperti Indonesia ini, apakah jihad dengan pedang (revolusi dan kekerasan) berlaku dimasa seperti sekarang atau cukup dengan sarana lain (secara bertahap dan keluwesan), dan lain sebagainya.
Sebetulnya perbedaan pendapat tersebut sudah berkembang sejak masa sahabat, bahkan pada masa Rasulullah SAW sering terjadi perbedaan pemikiran yang dituangkan dihadapan beliau, seperti sewaktu beliau meminta pendapat dari para tokoh sahabat tentang penanganan tawanan perang badar, (“karena belum turun” wahyu yang mengatur tentang itu) terjadilah perbedaan pendapat cukup tragis, seperti yang disampaikan oleh Umar ibn Khotob dan Abu Bakar Assiddiq.
Dalam kesempatan tersebut Abu Bakar mengajukan pendapat agar Rasulullah SAW mengambil langkah untuk melepaskan para tawanan dengan pesyaratan mereka membayar tebusan, sehingga tebusan tersebut bisa memeperkuat persenjataan umat Islam. Hal ini ditentang oleh Umar Ibn Khotob dengan perkataanya:

لا والله يا رسول الله ما أرى الذي رأى أبو بكر، ولكني أرى أن تمكنا فنضرب أعناقهم، فتمكن عليا من عقيل فيضرب عنقه، وتمكني من فلان نسيبا لعمر فأضرب عنقه، فإن هؤلاء أئمة الكفر وصناديدها.
صحيح مسلم ج: 3 ص: 1385

“Demi Allah Ya Rasulullah, tidak bisa, saya tidak setuju dengan pendapat Abu Bakar, pendapatku adalah engkau menugasi kita untuk menghabisi mereka dengan cara angkau menugaskan Ali (Ibn Abi Tholib) untuk membunuh Aqil (Ibn Abi Thalib), menugaskan ku untuk membunuh Fulan, yang masih keluargaku, dan seterusnya, karena mereka adalah tokoh tokoh orang kafir dan pembesarnya” (HR Muslim 3:1385)

Masih banyak perbedaan pendapat dikalangan para sahabat, bahkan perbedaan tersebut sampai menimbulkan perpecahan dan peperangan, seperti ijtihad para sahabat atas para pembunuh (pemberontak) Kholifah Utsman ibn Affan, sebagaian menuntut agar mereka diadili, namun pemerintah mempunyai pertimbangan lain sehingga timbul peperangan Al Jamal. Dan seterusnya.
Sampai sekarang perselisihan atau perbedaan pendapat dikalangan umat Islam semakin meluas, khususnya adalah perbedaan pendapat dalam masalah fiqh dan sebagian masalah aqidah yang tidak qoth’i dalilnya atau bukan masalah yang pokok. Diantara penyebab utama perselisihan dan perbedaan pendapat dalam masalah fiqh atau aqidah tersebut, timbul akibat beraneka ragam dan macam sumber dan argumen dalam memahami nash (teks) dan cara istinbath (menyimpulkan) hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan atau perbedaan tersebut terjadi antar berbagai pihak; dari yang melonggarkan hukum dan yang mempersempitnya, antara yang memperketat dan yang mempermudah, antara yang memakai dlohir nash dan yang memakai ro’yi (logika), antara yang mewajibkan bertaqlid pada madzhab dan yang mewajibkan berijtihad, dan seterusnya.
Perbedaan pendapat ini memang harus terjadi dan merupakan sunnatullah, para ulama fiqh seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Tsauri, Auza’i dan lainya tidak memandang perbedaan ini sebagai hal yang buruk, bahkan masing masing tidak ada yang memaksakan pendapatnya kepada yang lain atau melecehkan orang yang tidak sependapat denganya. Karena beda pendapat ini sunnatullah maka terjadi pula dilingkungan para malaikat bahkan mereka berbantah bantahan, dikisahkan dalam Alur’an :
مَاكَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍ بِالمَلإَ ِ الأَعْلَى إِذْ يَخْتَصِمُوْنَ (ص 69)
“Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang Al Mala’ul A’la (malaikat) ketika mereka berbantah bantahan” (QS Shod 38:69)

Demikian pula perbedaan pendapat ini terjadi dilingkungan para Nabi, seperti Nabi Musa dengan Nabi Harun pernah berselisih pendapat tentang Bani Israel yang mengikuti menyembah lembu Samiri, Nabi Musa menarik jenggot Nabi Harun dengan kemarahan yang sangat, sambil memegang janggut harun dan kepalanya, mengatakan:
“Berkata Musa: Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, sehingga kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah sengaja mendurhakai perintahku? Harun menjawab: Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan pula kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): kamu telah memecah antara Bani Israel dan kamu tidak memelihara amanatku” (QS Thaha 20: 92-94)

Nabi Musa juga berselisih dengan Nabi Khidlir dalam tiga kasus yang mengakibatkan perpisahan mereka, dalam kesempatan terakhir:
“Khidlir berkata: inilah perpisahan antara aku dengan kamu; aku akan memberitahukan kepada kamu tujuan perbuatan perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” (QS Al Kahfi 18:78)

Juga dalam hadits shahih diceritakan perdebatan antara malaikat Rahmat dan malaikat Adzab perihal nasib seseorang yang telah membunuh seratus orang, kemudian bertaubat dan pergi menuju kedesa orang yang saleh, tetapi mati ditengah perjalanan. Apakah dia dihukumi sebagai orang yang berdosa karena pembunuhan yang dilakukan dan dianggap belum sempat ketemu orang yang dituju untuk memberikan fatwa tentang taubatnya, ataukah sebagai orang yang telah bertaubat karena telah berniat untuk melakukan taubat. Dalam peristiwa ini malaikat berbeda pendapat dan ingin menghukumi sesuai dengan tugas masing masing, dan akhirnya Allah mengutus malaikat untuk mengakhiri perselisihan mereka berdua dengan menyatakan kebenaran pada pihak malaikat rahmat. (Hadits Muttafaq Alaih)
Perbedaan pendapat juga terjadi antara Nabi Dawud dengan puteranya Nabi Sulaiman, tentang cerita dua orang wanita yang membawa anaknya masing masing yang kemudian datang serigala memakan salah satu anak mereka, wanita yang satu berkata yang dimakan adalah anak kamu. Dan yang kedua berkata: yang dimakan adalah anak kamu. Dan akhirnya keduanya meminta keputusan kepada Nabi Dawud yang memberi putusan bahwa yang dimakan adalah anak wanita yang pertama. Tetapi kedua wanita itu datang kepada Nabi Sulaiman bin Dawud mengadukan permasalahanya. Nabi Sulaiman berkata: Berikan aku pisau biar aku belah menjadi dua dan aku bagikan kepada kalian. Salah seorang wanita itu berkata: jangan lakukan itu, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu, bayi itu adalah anaknya. Akhirnya Sulaiman menyerahkan anak itu kepada wanita yang melarang dibelah. (Lu’lu’ wal Marjan 1121)
Kalau perbedaan pendapat seperti ini terjadi dikalangan para makhluk yang mulia, yang suci, seperti para malaikat dan para Nabi yang terkenal Makshum, hal itu karena perbedaan sudut pandang dan pengalaman serta keluasan ilmu mereka, maka mengapa kita masih ngotot dan berambisi ingin menyuruh dan memaksa orang lain untuk mengikuti pendapat kita, yang jelas tidak makshum dan penuh kedengkian (hasud) agar yang lain sirna dan semua mengikuti kita.
Perbedaan pendapat akan timbul secara sunnatullah, dan harus kita terima bahwa itu merupakan rahmat Allah yang diturunkan agar fleksibilitas hukum Islam selalu terjaga, jangan kita memperuncing dan memperlebar jurang perbedaan dengan saling menyalahkan yang lain, kalau memang yang lain mempunyai dasar yang kuat akan amaliahnya kenapa tidak kita anggap bahwa amalaiah tersebut adalah juga benar (karena kebenaran tidak harus satu). Hal itu sebagai rukhshoh yang diberikan oleh Allah kepada kita, seperti yang disampaikan oleh Rasulullah SAW pada haditsnya:

عن أبي ثعلبة الخشني رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله حد حدودا فلا تعتدوها، وفرض لكم فرائض فلا تضيعوها، وحرم أشياء فلا تنتهكوها، وترك أشياء غير نسيان من ربكم ولكن رحمة منه لكم فاقبلوها ولا تبحثوا فيها
المستدرك على الصحيحين ج: 4 ص: 129
“Dari Abi Tsa’labah al Khusyani RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan ketentuan maka janganlah kamu melanggarnya, telah menetapkan kewajiban kewajiban maka jangan kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal maka janganlah kamu melanggarnya, telah meninggalkan banyak masalah bukan karena lupa dari Tuhan kamu, tetapi rahmat dari Nya bagimu maka terimalah dan jangan kamu mencari carinya” (HR Hakim 4:129)

عن سلمان رضي الله عنه قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن السمن والجبن والفأر، فقال الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفى عنه،
المستدرك على الصحيحين ج: 4 ص: 129

“Dari Salman RA berkata: Rasulullah SAW ditanya tentang minyak samin, keju dan tikus (tikus yang masuk dalm minyak amin dan keju), beliau menjawab: Barang yang halal yang telah dijelaskan kehalalannya oleh Allah SWT dalam kitabNya, sedang yang haram adalah yang telah diharamkan oleh Allah SWT dalam kitabNya, sedang yang ditinggalkan adalah telah dimaafkan (merupakan kemurahan). (HR Hakim 4:129)

Dari hal hal yang di diamkan inilah biasanya menjadi salah satu sebab timbulnya perbedaan pendapat. Karena ia menjadi kawasan kosong syariat, dimana setiap ahli fiqh akan berusaha untuk memenuhinya sesuai dengan dasar dasar dan kecenderungan madzhabnya. Disatu pihak cenderung mengisi permasalahan berdasar pada istihsan, dipihak kedua cenderung mengisinya dengan menggunakan metode Qiyas, dan dipihak ketiga menggunakan istislah, dan dipihak keempat memakai metode urf dan seterusnya.
Dengan beragamnya metode dan sumber pengambilan hukum ini maka khazanah fiqhiyah makin bertambah luas dan beraneka ragam coraknya, berbagai aliran atau “madrasah pemikiran ” bermunculan secara subur, mereka menghasilkan suatu khazanah dan kekayaan ilmiah yang tak terhingga banyaknya dan luasnya, hanya orang orang yang berilmu saja yang dapat menghargai nilainya.
Demikian, semoga perbedaan pendapat diantara kita merupakan rahmat Allah, bukan sebagai laknat yang diturunkan kepada umat ini. Mari kita ikuti budaya Rasulullah yang selalu menghargai beda pendapat ini dengan solusi yang menentramkan, bukan memperkeruh dan membuat masalah semakin meruncing.
Wallahu a’lam bi alshawab.

ISLAM & BUDAYA

KETIKA ISLAM BICARA BUDAYA,
ANALISA BUDAYA DALAM PRESPEKTIF RASULULLAH

Oleh : A. Adib Masruhan*

Islam adalah cara hidup total yang menyangkut seluruh isi kehidupan manusia. Ajaranya merupakan petunjuk hidup yang menyangkut seluruh bidang kehidupan; baik pribadi maupun masyarakat; baik materiil maupun moral, baik ekonomi maupun politik, baik hukum maupun budaya, baik nasional maupun imternasional (G.H. Jansen, MILITANT ISLAM, 1979).
Ada fenomena yang menggejala dan menjadi tren, bahwa bila terjadi gejolak dengan
read more.....

Minggu, 30 Agustus 2009

Lebaran

BERLEBARAN GAYA RASULULLAH

Oleh : A. Adib Masruhan

Seorang Baduwi dengan tergopoh-gopoh mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berkata “Ya Rasulallah, saya melihat hilal”. Hilal adalah bulan sabit yang sebagai tanda masuknya penanggalan hijriyah baru. Dengan laporan tersebut Nabi SAW menanyakan: apakah kamu orang Islam? dan orang itu menjawab: ”Ya" maka diterimalah kesaksiannya, kemudian Nabi SAW memerintahkan kepada Bilal untuk mengumumkan bahwa esok adalah Hari Raya, (Ibnu Hibban 8/229) beliau juga mengajarkan bila melihat hilal seperti diatas untuk membaca do’a “Allahumma ahillahu alaina bi al amni wa al iman, wa al salamati wa al islam, robbi wa robbuka Allah”

Read More.......