Langganan:
Posting Komentar (Atom)
SALAH KAPRAH DALAM KEPANITIAAN
ZAKAT FITRAH
Oleh : A. Adib Masruhan
Memasuki bulan Ramadlan, umat Islam secara serentak berbondong-bondong meramaikan masjid dan musholla di wilayah masing masing. Mereka datang ke masid atau musholla untuk melaksanakan sholat tarawih, sholat yang terselenggara setahun sekali, sebagian dari mereka ada yang menghidupkan malam Ramadlan dengan tadarus Al Quran yang sebetulnya bisa dilakukan setiap saat diluar Ramadlan, namun lebih ramai bila dalam momentum Ramadlan karena mengejar pahala yang melimpah. Sebagian dari mereka pula ada yang ke musholla atau masjid untuk melakukan kegiatan sosial, seperti membentuk atau ikut terlibat dalam kepanitiaan zakat fitrah yang hanya dibentuk dibulan Ramadlan, dengan sebutan Amil zakat fitrah.
Fenomena panitia zakat fitrah ini makin marak menjelang bulan Ramadlan berakhir. Keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk membantu kaum muslimin dalam menyalurkan salah satu kewajibannya yaitu membayar zakat. Mereka dibantu dalam pendistribusian zakat fitrahnya kepada para fakir dan miskin.
Zakat Mal dan Zakat Fitrah
Panitia zakat fitrah pada hakikatnya adalah para relawan yang membantu pembagian atau pendistribusian zakat fitrah. Tetapi pada kenyataan, mereka melebihi tugasnya sebagai seorang relawan. Mereka memosisikan diri sebagai Amil Zakat yang nantinya akan mendapat bagian dari zakat itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa Zakat fitrah itu tidak ada kepanitiaan (Amil) yang nantinya akan mendapat bagian seperti ashnaf (kelompok ) delapan yang akan menerima pembagian zakat. Karena, para asnaf ini hanya berlaku untuk pembagian zakat mal (harta). Sebagaimana dalam QS at Taubah 9:60 dibawah ini :
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya (nonmuslim yang diharapkan mau masuk Islam), untuk memerdekakan budak (mengentaskan kemiskinan), orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah (orang yang sedang mengalami kebangkrutan usha) dan orang-orang yang dalam perjalanan (anak jalanan)"
Ayat ini berlaku untuk zakat mal, bukan zakat fitrah. Karena antara zakat mal dan zakat fitrah jauh berbeda, baik dari pembayar (muzakki) maupun penerima (Mustahiq). Muzakki dalam zakat mal adalah aghniya (orang kaya) yang harus mengeluarkan zakat dari prosentasi kekayaannya, dan bila menolak membayarnya maka amil (panitia) berhak mengambil secara paksa, untuk didistribusikan (ditasarufkan) kepada para mustahiq, yaitu ashnaf delapan tersebut. Sedangkan, zakat fitrah adalah zakat nafs (jiwa) dan badan, sebagai penyucian terhadap puasanya, yang terselenggara karena datangnya Iedul Fitri (hari raya). Apabila muzakki menolak mengeluarkan zakat, maka tidak ada yang bisa memaksa, dan pendistribusiannya hanya untuk fuqara dan masakin, untuk menyenangkan mereka pada hari raya, sebagai pemberian makan terhadap orang miskin (Tu'matan lil Masakin) dihari itu. Seperti cerita Ibnu Abbas yang berkata: "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah kepada orang yang bepuasa sebagai penyucian puasanya dari bicara yang tidak berguna dan kotor dan sebagai pemberian makan terhadap orang-orang miskin" (HR Abu Dawud)
Panitia zakat Fitrah
Keberadaan panitia zakat fitrah ini tidak pernah didokumentasikan pada kitab-kitab klasik, apalagi dalam hadits Rasulullah SAW. Pada kitab kuning pun tidak tertuliskan, tentang amil zakat yang hanya menangani zakat fitrah. Bahkan, di Makkah atau di Madinah, sebagai pusat dan kiblat umat Islam, tidak ada panitia zakat fitrah,
Semarak kepanitian zakat fitrah di Indonessia ini harus dikembalikan pada ketentuan aslinya (khususnya semangat dan posisi mereka). Semangat mereka dalam menjadi panitia harus tetap terpelihara, yaitu sebagai relawan agama yang membantu para muzakki dalam mendistribusikan fitrahnya. Posisi mereka sebagai relawan ini harus ditegaskan bahwa mereka tidak akan memperoleh bagian sebagai amil.
Solusi kepanitiaan zakat fitrah ini bisa dikemukakan sebagai berikut: para muzaki dihimbau dan disarankan agar mengeluarkan fitrahnya sebanyak 3 (tiga ) kg beras per jiwa. Sedangkan, wajibnya adalah 2,7 kg perjiwa, maka setiap jiwa memberi infak (bukan zakat) sebanyak 3 ons beras. Kemudian, dipisah antara zakat dan infak, dan untuk zakat didistribusikan khusus kepada para fakir dan miskin. Sedangkan infak bisa digunakan sebagai konsumsi panitia (pengganti bagian amil) atau pembelian perangkat administrasi dan kebutuhan lainnya. Sehingga jatah mereka yang berhak tetap dan tidak terkurangi, begitu pula panitia tidak mengambil beras (uang) milik orang lain yang haram. Kalau personel panitia termasuk orang berkecukupan, maka tidak mengambil dari pembagian zakat, tetapi bila termasuk orang fakir atau miskin maka memperoleh bagian dari zakat. Demikian sekelumit pemikiran tentang zakat fitrah dan semoga Allah SWT tetap membersihkan jiwa kita semua. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar